Oleh Yoseph Heriyanto, pendiri Serikat Tani Bumi Intanpari (SERTA BUMI) dan pengurus DPP Forum Membangun Desa (FORMADES)
Indonesia, yang dikenal sebagai negeri agraris dengan kekayaan tanah suburnya, menghadapi ironi yang terus berulang. Petani, yang sejatinya merupakan pilar ketahanan pangan negara, seringkali terjerat dalam serangkaian persoalan yang tak kunjung usai. Masalah ini bukan hanya terbatas pada kondisi alam seperti kekeringan atau harga pupuk yang melambung, tetapi juga berhubungan dengan ketidakmampuan mereka mengakses harga yang layak untuk hasil panen. Harga gabah yang jauh dari cukup untuk menutupi biaya produksi adalah cerminan nyata ketimpangan yang terjadi dalam sektor pertanian.
Biaya produksi yang tinggi—mulai dari harga pupuk, benih, hingga ongkos tenaga kerja—membuat banyak petani kesulitan untuk mendapatkan keuntungan yang memadai. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), harga Gabah Kering Panen (GKP) pada Februari 2024 tercatat rata-rata Rp7.268,97 per kilogram, mengalami kenaikan 4,86% dibandingkan bulan sebelumnya. Namun, meskipun ada peningkatan harga, hal ini belum cukup untuk menutupi inflasi biaya produksi yang semakin membebani petani. Di banyak daerah, petani bahkan terpaksa menjual gabah di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang telah ditetapkan, yakni Rp6.500 per kilogram.
Pemerintah telah menetapkan HPP sebagai langkah untuk menjaga kestabilan harga gabah petani. Selain itu, Perum Bulog diberi tanggung jawab untuk menyerap hasil panen petani demi menjaga kestabilan harga di pasar. Akan tetapi, kebijakan ini menghadapi berbagai kendala dalam implementasinya. Pada tahun 2024, Bulog hanya berhasil menyerap sekitar 60% dari target penyerapan gabah domestik yang ditetapkan sebesar 1,27 juta ton. Meskipun pemerintah menargetkan penyerapan yang lebih besar, yakni 3 juta ton pada tahun 2025, tantangan di lapangan tetap signifikan. Penyerapan yang rendah di beberapa wilayah, seperti Sulawesi Selatan dan Barat, menggambarkan kelemahan Bulog dalam mengakomodasi kebutuhan petani. Akibatnya, para petani masih sering kali terjebak dengan tengkulak yang menawarkan harga jauh lebih rendah daripada harga standar yang ditetapkan pemerintah.
Sebagai respons terhadap kondisi ini, Serikat Tani Bumi Intanpari (SERTA BUMI) mendorong pemerintah untuk melakukan penyederhanaan regulasi yang lebih sesuai dengan kebutuhan petani. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah memperkuat peran Bulog dengan pemberian subsidi langsung atau insentif agar lembaga ini lebih maksimal dalam menyerap hasil panen dengan harga yang adil. Selain itu, peran aktif pemerintah daerah sangat penting dalam memfasilitasi kemitraan antara petani dan koperasi lokal, sehingga distribusi hasil panen dapat dilakukan tanpa melibatkan tengkulak yang merugikan petani.
Selain itu, pengawasan terhadap kebijakan HPP juga harus diperkuat. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan ini benar-benar dijalankan sampai tingkat desa dan melibatkan petani dalam proses pengawasannya. Hal ini sangat penting agar kebijakan tersebut tidak hanya menjadi jargon kosong yang tidak mengena pada permasalahan yang sebenarnya dihadapi petani.
Ketahanan pangan nasional sangat bergantung pada kesejahteraan petani. Apabila petani terus diabaikan, maka Indonesia akan kehilangan fondasi sebagai negara agraris yang tangguh. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mengadopsi pendekatan kebijakan yang lebih inklusif, yang melibatkan komunitas petani dalam setiap tahap perencanaan dan pelaksanaan.
Dengan memberi petani akses yang adil terhadap pasar dan memastikan perlindungan harga yang sesuai, tidak hanya kesejahteraan petani yang akan terjamin, tetapi juga ketahanan pangan nasional akan menjadi lebih kuat. Saatnya untuk menempatkan petani sebagai subjek utama dalam pembangunan, bukan sekadar objek dari kebijakan yang sering kali terputus dari realitas yang mereka hadapi. Masa depan sektor pertanian adalah masa depan bangsa, dan menjaga keberlanjutannya adalah tanggung jawab kita bersama.
( Yoseph Heriyanto / Wiwit )